Wak Kosim, Bumbu Cinta Seorang Chef
Bukan karena ditraktir makan, terus saya harus posting cerita ini. Bukan, bukan karena itu. Yuk disimak. Di sebuah malam, selepas Magrib berjemaah seorang sahabat mengajak makan di Warung Wak Kosim miliknya. Bukan sekali dua kali beliau begitu tapi sering. Cuma waktu saja kadang tidak berpihak. Nah, di malam itu saya dan beberapa jemaah yang mendapat rezeki.
Usai Isya, kami bergerak ke arah Parung Bingung, tempat kejadian perkara. Warungnya sederhana dan baru saja di renovasi. Oh ya, saya termasuk orang yang susah diminta pendapat soal rasa makanan. Jawaban saya cuma enak dan enak sekali.
Seperti narasi saya di awal cerita ini, bukan karena gratis, juga bukan karena harus ada kewajiban menjadi endorser saya benar-benar merasakan rasa yang berbeda. Bumbunya nendang banget. Kalau biasanya saya cuma punya dua jawaban, nah sekarang saya harus mengubahnya menjadi benar-benar enak, sumpah!
Wow berat banget dong pake sumpah segala. Itu narasi untuk meyakinkan bahwa rasanya memang enak sekali, mendekati sempurna. Kita sepakat soal sempurna apapun pasti Allah yang punya. Bukan menjadikan Allah seorang chef tapi kesempurnaan hanya milik Allah. Sepakat ya, jangan menghujat saya please.
Nah, bagaimana saya sampai ke titik menyatakan hal seperti ini? Jawabannya begini. Saya melihat sendiri bagaimana cara beliau memasaknya. Ada rasa cinta, ada kesungguhan untuk menyajikan yang terbaik buat pelanggan, dan ada keikhlasan dari mulai mengajak jemaah untuk makan di warung milik beliau, hingga menjadi chef. Nggak mudah menemukan sosok seperti ini.
Sudah ya, saya takut beliau terlena dengan pujian saya, walau saya yakin beliau tidak suka dan tidak tergolong orang yang mabuk pujian.
Intinya, kalo mau masak, berilah bumbu cinta di dalamnya, pasang niat ikhlas dan tebarkan senyum, dah gitu aja. Silahkan mampir untuk mencobanya.
Comments
Post a Comment