Dua Strategi Agar Bisa Pulang Cepat dari RS (Part 3)

Tujuh hari menjelang Hari Raya Idul Adha (20 Juli) saya merubah strategi. Jika ingin pulang, saya harus melatih diri hidup tanpa bantuan tabung oksigen. Ini tidak mudah. Ketika selang dilepas, nggak butuh waktu lama saturasi langsung turun, sesak menyerang, badan lemas, mata berkunang-kunang. Secara bertahap saya menurunkan tekanan regulator pada angka 12 liter oksigen per menit. Biasanya di angka 15. Dan secara berkala saya turunkan lagi hingga angka 10. Artinya pasokan oksigen secara perlahan mulai berkurang.
 
Semangat untuk pulang bukan hanya karena gangguan mental akibat menyaksikan teman sekamar wafat, melainkan saya mulai merasakan badan semakin ringan. Perawat yang biasanya gampang menemukan urat nadi untuk memasang infus sekarang semakin susah. Lengan saya semakin kurus. Pipi juga terlihat tirus. Paha mengecil. Pantat mulai terasa tepos. Tak bisa lagi duduk terlalu lama, sesekali harus dimiringkan. Saya butuh makan enak! Saya butuh karbo, saya butuh lemak.
 
Apakah menu di RS tidak memadai? Oh tidak. Menu mah enak-enak saja. Ada nasi atau bubur, tinggal pilih. Lauk pauk dan telur juga tersedia. Sayuran dan buah juga lengkap. Yang tidak ada itu adalah suasana. Tidak ada “kemanjaan” di RS. 
 
Kalau di rumah, siapapun yang sakit pasti akan mendapat pelayanan VVIP. Ditawarin aneka makanan yang enak, nasi Padang paling enak, atau makanan lain yang di hari biasa jarang dimasak. Pokoknya pasien adalah raja. Di RS, jangan coba-coba.
 
Strategi pertama bisa dijalankan dengan mudah. Saya bisa menyetel tabung oksigen, sambil menata pernafasan. Strategi kedua rada susah diterapkan. Sebagai penikmat nasi Padang sulit bagi saya menikmati bubur. Makan bubur itu tak ada perlawanan. 
 
Tapi kiriman makanan berupa rendang dan dendeng dari rumah juga tak bisa dinikmati karena bibir dan lidah yang masih kebas. Akhirnya saya harus berdamai dengan menu RS.
 
Idenya sederhana, saya nonton youtube tentang Tanboy Kun, salah seorang konten kreator yang terkenal dengan atraksi mukbangnya. Atraksi makan besar sang yotuber merangsang nafsu makan saya. Lumayanlah, makan bubur sambil yutupan, pada hari ke 11 saya bisa menghabiskan 25 persen bubur. Sebuah capaian yang baik dibanding makan rendaman wafer dalam air.
 
Upaya lainnya, saya minta dikirimkan teko pemasak air panas dan energen, teh dan gula. Semangat berkobar. Walau harus mencuri waktu untuk memasak air panas karena pasokan listrik terbatas. Pasca minum teh manis dan energen saya bisa merasakan aliran karbo memasuki darah merah. Muka mulai berdarah lagi.
Hari ketiga belas saya kembali merengek minta pulang. 
 
Dokter menakuti saya bahwa jika saya pulang dan penyakit saya kambuh belum tentu saya bisa masuk RS lagi. “Bapak liat sendiri kondisi di sini kan? Di luaran varian Delta Covid-19 masih merajalela. Umi dan beberapa saudara yang berprofesi dokter juga menyarankan saya untuk bertahan. Apalagi saya mengalami pengentalan darah. Hasil PCR pun masih positif. 
 
Di ujung keputusasaan itu, tentu manusia hanya bisa mengadu kepada Sang Maha Pencipta, Allah yang Maha Penyembuh. Saya bernego dengan Allah. Saya buat pengakuan atas dosa-dosa dan kelalaian yang telah saya perbuat. 
 
Saya tumpahkan semua permohonan ampun dan maaf. Saya rayu Allah sekuat-kuatnya dan saya pinta untuk diberi kesempatan sembuh dan menikmati hidup sedikit lagi hingga saya bisa mendampingi, mendidik anak dan cucu nantinya.
 
Doa kedua yang meluncur dari bibir yang masih berdarah itu adalah doa untuk diberikan husnul khotimah. Artinya, ketika saatnya datang, itu adalah sebuah kematian yang berakhir dalam kondisi yang baik alias diridhai Allah SWT. 
 
Saya ingin mati dalam keadaan bersih, tanpa meninggalkan dosa, hutang dan kesalahan. Tidak seperti saat ini, sekian hari tanpa mandi, tanpa sikat gigi, memakai pampers yang penuh kotoran. Saya merasa diri ini sangat kotor. Saya ingin bertemu Allah dalam keadaan suci. Semoga Allah mengijabah doa saya.
 
Di rumah dukungan doa pun mengalir deras. Saffa anak perempuan saya sempat bertutur bahwa selama Abinya sakit, doanya jauh lebih lama dan lebih khusyuk. Abang Alif yang pada awalnya sempat menangisi kebandelan saya yang tidak mau dibawa ke RS juga memunajatkan doa terbaiknya. Si Umi bahkan sempat bernazar dan bersedekah ke sebuah yayasan agar dititipkan doa untuk kesembuhan saya. 
 
Doa-doa dari sahabat, teman dan keluarga adalah obat mujarab yang membantu saya terlepas dari jeratan maut sang virus. Tepat di hari Lebaran Haji (20 Juli) pukul 17:30 saya diperbolehkan pulang ke rumah. 
 
Hari-hari isoman di rumah tak kalah serunya. Kenangan selama 16 hari di RS masih menghantui dan sisa-sisa batuk yang dibawa dari RS masih menemani perjalanan panjang menuju kesembuhan total. 
 

 







Comments

Popular posts from this blog

Ini Dia 5 Tips Terbang Cepat dari YIA

Membumikan Statcap Cerdas

Baladewa Harus Ikutan Sensus