Sebuah Cerita Pengingat Diri (part 1)
Sabtu, 4 September kemaren adalah penanda 60 hari saya masuk RS untuk pertama kalinya seumur hidup. Saya perlu mengingat momen tersebut agar menjadi pembelajaran kehidupan. Tugas manusia itu berikhtiar. Takdir Allah yang menentukan. Inilah kisah saya ketika terkena Covid-19.
Setelah ditolak sebuah RS di kawasan Depok karena tak ada kamar, abang Alif terpaksa membawa saya pulang. Dengan selang terpasang di hidung saya mulai merasakan betapa sengsaranya hidup tanpa bisa menghirup oksigen dengan bebas. Pernah melihat ikan menggelepar di pasar? Mulutnya mangap mencari air. Nah begitulah ketika sesak napas mendera.
Dengan alasan menikmati pekerjaan yang ada, saya melahap semua menu yang tersedia. Kerja hingga larut malam, perjalanan dinas hingga dua kali dalam seminggu sampai rapat virtual yang menguras bukan hanya fisik tapi juga fikiran. Lelah hayati pun datang. Imun menurun drastis.
Sepulang dari Bali 23 Juni saya sudah merasa meriang. Bukannya masuk Pit Stop saya malah tetap melaju. Persiapan pelantikan Kepala BPS harus digelar dua hari berikutnya. Ini menjadi sebuah cerita pekerjaan yang harus dituntaskan. Do the best, prinsip kerja yang sudah dipegang sejak lama.
Ada satu haul saya yang harus dipenuhi. Sederhana saja. Selama bertugas dan berdekatan dengan pak Kecuk Kepala BPS periode sebelumnya, tak sekalipun saya berfoto ria bersama beliau. Saya mencoba menjaga sikap profesional. Lebay dot com.
Sehari setelah pelantikan, 26 Juni saya genap berusia 54 tahun. Hari itu saya dihadiahi Umi sepasang baju dan celana. Sebuah kejutan yang menyenangkan. Perasaan saya mencoba menikmati momen tersebut, tapi fisik tidak. Malamnya saya panas dan batuk mulai menyerang.
Empat hari saya coba bertahan mengandalkan paracetamol dan OBH untuk melawan. Setelah berkoordinasi dengan klinik BPS saya menyerah, saya harus melakukan test PCR, sesuatu yang menakutkan karena kabar varian delta dari C-19 mulai beredar. Benar saja 1 Juli hasil PCR saya positif, sejarah baru mulai ditulis.
Batuk makin parah dan saya mulai tidak bisa tidur. Nikmat hidup langsung lenyap. Cuma setengah jam sehari tidur membuat tubuh lemah. Berbagai macam gaya tidur sudah dicoba. Miring, telentang, tengkurap gagal membuat saya terlelap. Hanya posisi duduk yang bisa. Itupun hanya sekejap. Ketika rebah ke kiri atau ke kanan batuk menyerang dan nafas menjadi sesak. Si Umi panik.
Beberapa RS coba dihubungi tapi tak satupun yang memberi kabar gembira. Saya mulai memasuki masa kritis. Saturasi menurun dan halusinasi mulai merasuki kepala. Pengurus lingkungan berunding dan segera mengevakuasi saya ke sebuah RS di kawasan Depok. Beruntung banget saya punya banyak sahabat dan tetangga yang baik.
Comments
Post a Comment