Kembali WFO setelah Isoman 20 Hari (Part 4 - Tamat)
Ternyata berita kepulangan saya ke rumah tidak mendapat respon positif dari orang-orang di rumah. Tak ada teriakan histeris. Apa pasal? Saya sempat sedikit ketus bicara di telpon dengan dek Saffa. "Kalian enggak senang ya Abi pulang?" Bukan begitu Bi, kami cuma lagi bingung saja bagaimana cara menjemput Abi.
Abang Alif kan lagi batuk juga. Saffa mencoba mengalihkan kekecewaan saya.
Tekad membara yang ada di dada untuk meninggalkan RS mengalahkan logika berfikir. Sensitivitas berkurang. Saya tak curiga sedikitpun kalau abang Alif batuk itu tandanya dia lagi sakit! Positif Covid-19 kah? Sempat terbersit, tapi keputusan dokter membolehkan pulang di hari Lebaran Haji itu mengalahkan perasaan khawatir itu.
Ada tujuh tas dan kantong yang harus saya bawa pulang. Tiga kantong berisi stock pampers. Ada stock air mineral, susu kotak, pakaian kotor dan bersih serta peralatan teko dan makanan kecil. Ada juga sendok, pisau, gunting kuku, gunting, peralatan mandi, kabel, hingga kantong sampah, komplit!
Kenapa pampers tersisa banyak? Karena lima hari sebelum pulang saya mencoba pipis lewat botol air mineral. Botol ukuran 600 ml bisa untuk dua kali pipis. Bukan takut kehabisan uang karena harus beli pampers, tapi pipis dengan cara alamiah tersebut memang jauh lebih nyaman. Apalagi kalau sudah sembuh dan kembali bisa hidup normal. Alamak jang betapa nikmatnya hidup.
20 Juli, menjelang Magrib Abang Alif akhirnya datang menjemput. Kali ini tanpa pakaian hazmat seperti ketika mengantar saya ke RS. Setengah gemetar saya naik ke mobil. Jujur, melorotnya berat badan hingga 10 kg itu membuat kelincahan saya jauh berkurang. Letoy banget rasanya badan.
Kejujuran akhirnya harus diungkap. Ternyata tiga hari setelah saya masuk, abang Alif merasakan badannya panas bahkan sampai 39 derajat disertai batuk. Hasil PCR dua hari berikutnya, si abang divonis positif.
Wajar sich karena abang lah yang mengurus dan mengantar saya ke RS. Si Umi berusaha menyembunyikan informasi ini dari saya. Demikian juga dengan kabar wafatnya seorang saudara saat saya dirawat, semua harus dirahasiakan! Saya tidak boleh stres!
Itulah kenapa kepulangan saya ke rumah membuat bingung Umi dan adek Saffa. Apalagi status PCR saya waktu pulang masih positif dan ketentuan Kemenkes, pasien yang sudah dirawat 14 hari tidak diperlukan lagi test PCR. Diasumsikan sudah tidak menularkan.
Merawat dua pasien positif (isoman) di satu rumah tentu tidak mudah. Apalagi saya dan abang Alif masih batuk-batuk. Indikasi Covid-19 nya masih kentara. Bisa dipahami Umi dan adek Saffa sangat khawatir tertular. Apalagi dua pasien yang harus dilayani kelasnya juga berat, VIP dan VVIP. Lebay dot com.
20 Juli, menjelang Magrib. Mandi dan keramas setelah 16 hari itu sesuatu banget. Malam itu saya bisa melaksanakan sholat Magrib dan Isya dengan badan dalam kondisi bersih dan suci. Malam itu juga saya kembali bisa merasakan masakan si Umi. Belum sempurna, tapi setidaknya saya sudah punya modal "rasa"
Penting bagi pasien Covid-19 untuk memaksimalkan rasa yang ada. Jangan larut dengan "patahnya" selera makan. Jika perlu ketika tersendat karena eneg dorong pakai air putih. Saya selalu melapor dengan berteriak dari kamar bahwa makanan habis seraya memuji masakan Umi enak banget. Saling memberi semangat dan menghargai sangatlah penting. Isoman di rumah punya keunikan sendiri.
Walau sudah di rumah, jangan berharap dapat leluasa keluar masuk kamar. Area bermain saya cuma kamar, terus kamar mandi dan keluar untuk berjemur. Itupun dengan pengawasan ketat. Pakai masker, sarung tangan plastik dan tidak boleh menyentuh peralatan rumah tangga apapun termasuk kulkas.
Makanan dan minuman saya ditaruh di depan pintu kamar. Piring, gelas, sendok semuanya sekali pakai. Kain kotor dicuci terpisah. Handuk juga dijemur dengan tempat berjauhan. Berat nian menjadi "bekas" pasien Covid-19 ini. Kulkas sampai dipindahkan ke tempat lebih jauh dari kamar saya diisoman.
Apakah kami paranoid? Bisa iya bisa tidak. Komposisi dua penderita dan dua bukan dalam satu rumah membuat ketakutan tertular cukup berimbang. Salah satu penyebab tentu aliran informasi yang deras masuk ke gadget masing-masing.
Kondisi lingkungan juga mendukung. Banyak tetangga terpapar hingga ada yang wafat. Puncak Covid-19 di bulan Juli itu benar-benar meluluhlantakkan kepercayaan diri anak bangsa.
Perlahan tapi pasti tubuh saya merespon dengan baik asupan gizi yang masuk. Bangun pagi segelas susu dengan dua keping roti mengganjal perut. Setelah berjemur langsung sarapan berat. Pukul 11 malan buah dan kacang hijau. Siang hingga malam saya benar-benar dijejali aneka makanan dan snack. Tentu diselingi obat, madu dan vitamin. Plus terapi uap dengan minyak kayu putih.
Senam pernafasan pun dilakukan dengan durasi dan variasi gerakan lebih banyak.
Semakin hari kondisi terus membaik. Delapan hari (28 Juli) pasca keluar RS saya dan abang Alif melakukan test antigen. Hasilnya negatif. Segera kami mengurus surat sehat dari puskesmas setempat agar leluasa keluar masuk komplek tanpa harus melapor ke pengurus lingkungan.
Alhamdulilah, 9 Agustus saya memberanikan WFO untuk pertama kalinya. Masih sempoyongan tapi saya harus merawat semangat untuk kembali hidup normal. Efeknya lumayan baik. Karena kecapean saya lebih mudah tidur dikala malam. Ini penting sekali.
Saya butuh kualitas dan lama tidur. Hal ini membuat tubuh jauh lebih segar. Dari mulai jam 2 malam baru bisa tidur, perlahan beranjak ke jam 12 dan akhirnya saya sudah bisa terlelap mulai pukul 22:00 malam.
Demikianlah sekelumit kisah bagaimana saya terjangkit dan bisa lepas dari jeratan sang virus. Tentu Allah adalah sebaik-baik penyembuh. Selain itu kiriman doa, paket makanan, kue, vitamin dan obat-obatan dari keluarga, sahabat serta dukungan tetangga, pengurus RT/RW dan teman-teman terbaik saya. Terima kasih untuk semuanya, semoga Allah membalas dengan sebaik-baik pahala, amiin.
Noted: foto saat dirawat hingga bisa kembali WFO sampai hari ini, alhamdulillah
Comments
Post a Comment