Kisah Petugas Task Force dan Kortim
Sejujurnya Marni (bukan nama sesuai KTP) masih ragu menerima tugas Task Force (TF) SP 2010, dikarenakan masa pemulihan wajahnya yang terbakar matahari belum tuntas.
Tugas 14 hari sebagai MK di pedalaman Palembang, membuat wajah setengah putih Marni, nyaris berubah gelap gulita.
Setibanya di Jakarta, seluruh daya dan upaya dilakukan Marni untuk merubah wajahnya seperti sediakala, yang sebelumnya diduga seputih Luna Maya. Krim pemutih wajah keluaran ERHA clinic langganan para artis yang harganya selangit pun rela ia beli.
Pelan tapi pasti, wajah Marni mulai terlihat di tempat gelap, bahasa kerennya glow in the dark. Namun, belum tuntas masa pemulihan, lagi-lagi tugas TF sudah memanggilnya kembali.
“Wah kalau begini terus muka gue kaga’ bakalan balik seperti semula deh, bisa-bisa selamanya akan kaya Azis gagap!” gerutu Marni.
Jika saja Marni tidak terbakar oleh semangat perjuangan yang dikobarkan Kepala BPS-RI saat pembekalan, mungkin Marni akan mundur teratur dari medan pertempuran. “Modal gue buat ketok magic muka sudah habis-habisan coi!!” ujar Marni.
Selain wajah, perut gue juga makin melar nih, ujarnya sambil mengusap perutnya yang mulai bertingkat macam rantang 2 susun. Apa hubungannya TF dengan kegemukan? tanya temannya. Jelas ada! sahut Marni sewot, karena harus berjalan kaki keluar masuk kampung, nafsu makan jadi menggila.
Apalagi ketika menjadi petugas monitoring di Palembang, 2 minggu tak bertemu suami. Semua nafsu dialihkan ke makanan. Maka tak heran jika lingkar perutnya bertambah 10 cm, itupun belum termasuk kulit. Jadi total jendral sekitar 15 cm lah!
Kembali ke tugas TF, dengan semangat 45 Marni menerima job ini, walaupun berat tapi ada secercah kebanggan di wajahnya. Biarpun honor belum jelas tapi menurut Marni lebih ke pengabdian buat BPS tercinta.
Setelah istirahat dua minggu meninggalkan hal yang berbau SP, Marni kembali belajar keras.
“Untung semua berkas MK gue masih lengkap, kalau sudah kebuang berabe juga” kata Marni.
Dalam hatinya Marni bertekad harus lebih cerdas dari petugas lapangan. Ibarat pertempuran, persenjataan harus komplit. Jika perlu bawa bazooka atau tank sekalian, pikir Marni.
Malu dong, kalau nanti ditanya petugas di lapangan tapi nggak bisa jawab! Alhasil dengan persiapan 115 persen melebihi daya tampung kemampuan manusia biasa, Marni siap turun ke lapangan.
Dihari pertama Marni beraksi. Tugas pertamanya adalah mengontak Korlap untuk pemetaan medan pertempuran. Walau lokasinya diseputar rumahnya, tetap saja Marni harus kulo nuwun dulu ke penguasa setempat, Korlap.
Setelah bertemu dan basa-basi dengan Korlap setempat, Marni mulai berkeliling blok sensus dan meneliti satu persatu rumah yang ada. Wah, sticker sudah terpasang semua, bathin Marni dalam hati.
Hari pertama berjalan mulus tanpa “temuan”. Tugas selanjutnya adalah pengecekan isian kuesioner C1.
Dengan semangat ala KPK Marni meneliti satu per-satu berkas C1. Disini mulai terlihat banyak temuan. Ada yang marking nya belum sempurna dan ada isian yang masih salah.
Ibarat menemukan aliran data tak jelas dalam isian kuesioner, Marni langsung memanggil dan mengumpulkan para PCL.
Perintah langsung diberikan, segera perbaiki dan kunjungi lagi responden yang datanya belum lengkap! begitu perintah harian Marni bergaya layaknya pejabat penanggung jawab SP. Semua petugas dengan penuh khidmat mendengar dan menyimak hasil temuan Marni.
Lepas membeberkan temuannya Marni tersenyum puas. “Baru tahu mereka siapa gua, jelek-jelek begini mantan MK coi!!” sorak Marni dalam hati sambil tak lupa tersenyum penuh kemenangan ditujukan ke Korlap.
Disuguhkan senyuman begitu sang korlap hanya tersenyum kecut. Pikir sang Korlap, “Hebat juga ibu ini, kalau dilihat dari potongannya sih mirip pejabat eselon 3 BPS RI tapi jahitannya kaya’ staf!”
Hari berikutnya, Marni melakukan penyisiran kalau-kalau masih ada rumahtangga yang terlewat cacah. Walau sticker lengkap belum tentu rumahtangganya sudah dicacah C1. Kali ini yang menjadi sampel adalah rumahtangga tetangganya, hanya berjarak dua gang dari kediaman Marni.
Walau tinggal berdekatan, Marni jarang bertemu dan bersilaturahmi dengan para tetangganya. Bukan karena Marni sombong, ini dikarenakan kesibukannya di kantor. Pagi-pagi sudah berangkat malam baru pulang. Jadi untuk ber-say hello dengan para tetangga butuh appointment atau jam bicara. Tapi walau jarang bertemu, mereka saling mengenal meski tak tahu nama masing-masing.
Saat berjalan ke rumahtangga yang dituju, tanpa sengaja di jalan Marni bertemu dengan tetangga yang akan dikunjungi itu. Kebetulan tetangganya itu menjadi salah satu pengurus di pos yandu.
Demi mempersingkat waktu pertanyaan seputar SP pun diajukan Marni. “Ibu sudah pernah didatangi petugas Sensus Penduduk?” sudah jawab tetangganya. “ibu ditanya tentang umur, tanggal lahir, pekerjaan, perumahan, kecacatan, kelahiran.....bla...bla..?” iya, jawab tetangga Marni.
Merasa jawaban tetangganya itu kurang meyakinkan, Marni pun terus memberondong berbagai pertanyaan sambil menyelidik. “Jawab yang jujur ya bu! cecar Marni. “Soalnya saya takut petugas yang datang kesini nggak bener! Nanyanya cuma 3 pertanyaan sisanya ngambil dari Kartu Keluarga.
Kalau memang seperti itu, petugas dan kortimnya akan saya panggil dan saya laporkan!” gertak Marni berapi-api. Sang tetangga hanya tersenyum, membuat Marni makin berang.
Sambil menjawab, “nggak koq bu semua ditanya, 43 variabel kan? Karena saya Kortimnya untuk blok sensus ini” jawab tetangganya kalem.
Bagai disambar petir di siang bolong mendengar testimoni tetangganya itu Marni langsung meminta maaf berkali-kali. Gayanya yang semula mirip eselon 3, bahkan mirip gaya pak Rusman yang sedang marah, kontan langsung di stel mirip pegawai yang sedang menghadap pak Yadi Koperasi, Marni mendadak jadi baiiikkk banget!
(Terbit di Majalah Korpri Interaktif Edisi April 2010, Dipercantik dan diperlucu oleh Mas Aank)
Comments
Post a Comment